BAB I
A. PENDAHULUAN
Rasa puja dan puja syukur kita tidak akan habis-habisnya kita ucapkan
kepada Allah Tuhan semesta alam, yang telah selalu melimpahkan rahmad dan
karunia-Nya kepada kita, Shalawat dan salam juga buat junjungan kita Nabi
Muhammada Saw.
Pada kesempatan kali ini kelompok kami mencoba menulis sebuah makalah untuk
memenuhi tugas di mata kuliah pendidikan agama isalam tentang sumber dan dasar
hukum Islam. Dari makalah yang kam tulis ini akan disajikan mengenai berbagai
macar sumber yang digunakan dalam membentuk atau menetapakn hukum islam,
sumberyang digunakan tersebut selain Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama
dalam penetapan hukum, namun apabila tidak ditemukan dalam kedua sumber
tersebut, maka kita terpaksa menggunakan akal kita dalam menetapkan hukum
tersebut, yaitu dengan cara ijma’, qiyas, istihsan dan dengan cara lainnya.
Dalam makalah kali ini kami telah mencoba untuk menyajikan dengan sebaik
mungkin, namun karena satu dan lain hal, makalah ini tentu masih memilki
kekurangan, berikut inilah penjelasannya.
B.
Rumusan masalah
1. Sebutkan
dasar – dasar hukum islam ?
2. Bagaimana
pengertian dasar – dasar hukum islam ?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui apa saja dasar – dasar hujum islam
2. Supaya
memahami setiap dasar – dasar hukum islam yang ada
BAB
II
BEMBAHASAN
A.
Pengertian
dasar hukum islam
Hukum
(peraturan/norma) adalah suatu hal yang mengatur tingkah laku manusia dalam
suatu masyarakat, baik peraturan tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat,
baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan
ditegakkan oleh penguasa.
Dengan adanya Hukum dalam
islam berarti ada batasan-batasan yang harus dipatuhi dalam kehidupan. Kerena
tidak bisa dibayangkan jika hokum, seseorang akan semaunya melakukan sesuatu
perbuatan termasuk perbuatan maksiat.
Syariat Islam diturunkan yaitu untuk memberikan kemaslahatan kepada manusia
baik cepat maupun lambat secara bersamaan yakni semua permasalahan dan
akibat-akibatnya.
Syatibi mengemukakan dalam
maqoshid syariah bahwa tujuan Allah dalam menetapkan hukum, dengan
penjelasan bahwa tujuan hukum itu adalah satu, yakni untuk kebaikan dan
kesejahteraan (maslahah) umat manusia baik cepat maupun lambat secara
bersamaan.
Jadi, tujuan syariat
mencakup kemaslahatan dunia dan akhirat. Karenanya beramal shaleh menjadi
tuntutan dunia dan kemaslahatannya merupakan buah dari amal, yang hasilnya akan
diperoleh di nanti akhirat. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:
“Barangsiapa
menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), Maka kami segerakan baginya di dunia
itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan kami tentukan
baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dari
terusir”. (Qs.17:18)
Sumber –
sumber yang dipakai acuan dalam hukum islam adalah : Kitab ( Al- Qur’an ), As-
Sunnah, Ijma’, Qaul Shahabi, Qias, Istihsan, Maslahah, ‘Urf, Syari”at Ummat
Sebelum Islam, dan Istishad.
Bahwa sumber
– sumber hukum islam di atas tidaklah berada dalam suatu martabat, tetapi
sebagiannya didahulukan pemakaiannya atas sumber hukum islam lainnya, yakni
ketika mencari dan mengambil dalil hukum. Dalam hal ini ulama ahli hukum islam
berbeda – beda. Ada yang mendahulukan qiyas dan qual shahabi, dan ada juga yang
sebaliknya. Bahkan ada juga yang tidak mengakui kehujjahan qiyas, ijma’,
istihsan, istishab dan sebagainya.
Untuk lebih
jelasnya, maka berikut ini kami kemukakan secara terinci dalam bebnya
masing-masing
B.
Dasar
- dasar hukum islam
1.
AL
– QUR’AN
1.1 Pengertian al-quran
Mengenai asal kata
al-quran para ulama berselisih penapat. Menurut Asy-Syafi’i, kata “al-quran”
itu ditulis dan dibaca tanpa hamzah ( Al-Qur’an ). Ia tidak berasal dari suatu
kata, tetapi ia merupakan sebutan khusus bagi kitab suci yang diberikan kepada
Muhammad saw.
Menurut Al-Asy’-ari,
kata “Al-Qur’an” diambil dari kata “qarana” yang berarti menggabungkan. Karena
Al-Qur’an adalah merupakan gabungan ayat-ayat dan surat-surat.
Sebagai kitab suci umat Islam adalah
firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada
seluruh umat manusia hingga akhir zaman (Saba' QS 34:28). Sebagai sumber Ajaran
Islam juga disebut sumber pertama atau Asas Pertama Syara'. Al-Quran merupakan
kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya yang pernah
diturunkan ke dunia. Dalam upaya memahami isi Al Quran dari waktu ke waktu
telah berkembang tafsir tafsiran tentang isi-isi Al-Qur'an namun tidak ada yang
saling bertentangan.
1.2 Kehujjahan
Al-Qur’an
Hukum islam
merupakan hukum ke-Tuhanan. Allah mengkhithabkan dan mensyariatkannya kepada hamba-Nya. Ia
merupakan pokok dan merupakan jalan untuk mengetahui hukum-hukum ini. Maka
Al-Qur’an, yakni firman Allah adalah merupakan jalan pertama untuk mengetahui
hukum-hukmnya.
Alasan yang
menunjukkan bahwa Al-Quran adalah hujjah bagi manusia dan hukum-hukum yang ada
di dalamnya merupakan undang-undang yang wajib ditaati adalah karena Al-Qur’an
itu diturunkan dari Allah dengan jalan qath’i kebenarannya dan tidak bisa
diragukan. Sedangkan alasan yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an datang dari allah
adalah mu’jizat al-quran yang mampu menundukkan manusia, yang tidak mungkin
manusia meniru atau membuat yang serupa dengannya.
1.3 Kemu’jizan
Al-Qur’an
1.
Kefashahan Al-Qur’an amat tinggi. Ia menghimpun
aturan-aturan yang menakjubkan dan mengandung makna –makna yang cukup tinggi
serta makna yang sngat kuat dalam mempengaruhi jiwa.mudah dihafal, ringan
dibaca. Mengandung berbagai bentuk ungkapan menurut tempat dan keadaan. Oleh
karena itu, ayat – ayat makiyah pendek-pendek, mengandung ajaran aqidah dan
keimanan. Sedangkan ayat-ayat madaniyah umumnya pajang-pnajang yang menjelaskan berbagai hukum pelaturan. Keras
dalam mempertakuti dan mengancam serta menyenangkan dalam mendorong untuk
melaksanakan suatu perbuatan.
2.
Hukum dan makna –maknanya teratur, saling merangkai
satu sam lain. Oleh karena itu tidak ada pertentangan antar satu makn atau satu
hukum dengan makna atau hukum yang lainnya, atau satu ayat dengan ayat yang
lainnya.
3.
Al-Qur’an memberikan tentang peristiwa (kejadian) yang
telah lalu, pada kurun masa yang telah lewat. Ia telah mengkisahkan tentang
keadaan kaum Ad, kaum Tsamud, kaum Luth, kaum Musa, Firuaun dan sebagainya.
4.
Al-Qur’an memberikan perkara-perkara yang akan datang.
Hal ini seperti yang penulis kemukan berikut ini.
a.
Al-Qur’an telah menjanjikan kemenangan kepada kaum muslimin
dalam perang Badar Kubra.
b.
Al-Qur’an menjanjikan kepada kaum musimin tentang
terbentuknya kota Mekkah
c.
Al-Qur’an juga telah mengkhabarkan tetang kemenangan
bangsa Romawi atas tentara Persia
d.
Al-Qur’an telah memberikan tentang kehinaan yang akan
menimpa kaum Yahudi pada segala zaman sampai didatangnya hari kiamat.
5.
Al-Qur’an mengandung berbagai rahasia alam dan
hakekatnya alam ini, yang tidak henti-hentinya lmu mengungkapkan kepada kita
setiap hari dengan penemuan-penemuan baru yang membuktikan bahwa Al-Qur’an ini
datang dari sisi Allah, yang meliputi ilmu segala sesuatu.
6.
Al-Qur’an mengandung syari’at islam yang
hukum-hukumnya mengatur berbagai hubungan manusia, yang merupakan aturan yang
luas dan tegas, elastis dan cocok di segala tempat, untuk merealisir kemaslahatan
dan kebaikan manusia.
7.
Al-Qur’an tetap dan kekal, terpelihara dan tidak perna
berobah , karena selalu dibaca, baik dengan cara terang-terangan atau
tersembunyi
1.4 Hukum-hukum
yang terkandung di dalam al-Qur’an ada 3 macam, yaitu :
a. Hukum-hukum I’tiqadiyah, yakni hukum-hukum yang
berkaitan dengan kewajiban para
mukallaf untuk mempercayai Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya,
Rasul-rasul-Nya dan hari pembalasan.
b. Hukum-hukum Khuluqiyah, yakni hukum-hukum yang berkaitan
dengan tingkah laku yang berhubungan dengan kewajiban orang mukallaf
untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya
dari sifat-sifat tercela.
c. Hukum-hukum Amaliah , yakni hukum-hukum yang berkaitan
dengan perkataan, perbuatan, perjanjian atau mu’amalah (kerja sama) sesama
manusia.
1.5 Bila ditinjau dari Hukum Syara terbagi menjadi
dua kelompok:
1. Hukum yang berkaitan dengan amal
ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah dan sebagainya yang
berkaitan dengan hubungan manusia dengan tuhannya.
2. Hukum yang berkaitan dengan amal
kemasyarakatan (muamalah) seperti perjanjian perjanjian, hukuman (pidana),
perekonomian, pendidikan, perkawinan dan lain sebagainya.
1.6 Hukum yang berkaitan dengan
muamalah meliputi:
1. Hukum yang berkaitan dengan
kehidupan manusia dalam berkeluarga, yaitu perkawinan dan warisan.
2. Hukum yang berkaitan dengan
perjanjian, yaitu yang berhubungan dengan jual beli (perdagangan),
gadai-menggadai, perkongsian dan lain-lain. Maksud utamanya agar hak setiap
orang dapat terpelihara dengan tertib.
3. Hukum yang berkaitan dengan gugat
menggugat, yaitu yang berhubungan dengan keputusan, persaksian dan sumpah.
4. Hukum yang berkaitan dengan jinayat,
yaitu yang berhubungan dengan penetapan hukum atas pelanggaran pembunuhan dan
kriminalitas.
5. Hukum yang berkaitan dengan hubungan
antar agama, yaitu hubungan antar kekuasan Islam dengan non-Islam sehingga
tercpai kedamaian dan kesejahteraan.
6. Hukum yang berkaitan dengan batasan
pemilikan harta benda, seperti zakat, infaq dan sedekah.
1.7 Dasar-Dasar Al-Qur’an dalam Membuat Hukum
Allah SWT menurunkan Al-Qur’an untuk
dijadikan dasar hukum yang disampaikan kepada ummat manusia agar mereka
mengamalkan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Pedoman
Al-Qur’an dalam mengadakan perintah dan larangan-Nya adalah tidak memberatkan
dan diturunkan secara berangsur-angsur.
1. Al-Qur’an
Tidak Memberatkan
Al-qur’an diturunkan tidak untuk
memberatkan ummat manusia, sebagaimana firman-Nya:
يُرِيْدُاللّهُ بِكُمُ
الْيُسْرَوَلاَيُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya: “Allah menghendaki kelonggaran bagimu dan
tidak menghendaki kesempitan bagimu” (Q.S. Al-Baqarah, 2:185).
2. Al-Qur’an
Turun Secara Berangsur-Angsur
Al-Qur’an diturunkan secara
berangsur-angsur selama 23 tahun, yaitu 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di
Madinah. Hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur, antara lain:
1. Agar lebih mudah dimengerti dan
dilaksanakan.
2. Turunnya Al-Qur’an berdasarkan suatu
kejadian tertentu akan lebih mengesankan dan berpengaruh di hati.
3. Memudahkan dalam menghafal dan
memahaminya.
3. Al-Qur’an Sebagai Sumber Ijtihad yang
Pertama
Ijihad adalah “sebuah usaha untuk
menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits” (Lina Dahlan,
2006). Terdapat beberapa macam ijtihad, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. ‘Ijma: Kesepakatan ulama,
2. Qiyas: diumpamakan dengan suatu hal yang
mirip dan sudah jelas hukumnya,
3. Maslahah Mursalah: untuk kemaslahatan ummat,
4. ‘Urf: kebiasaan.
Para fuqaha dari berbagai
madzhab-madzhab Islam telah mengungkapkan berbagai pandangan mereka yang
berbeda-beda mengenai sumber-sumber Ijtihad.
Al-Qur’an merupakan sumber utama
hukum-hukum Ilahi. Al-Qur’an lebih diutamakan daripada sumber-sumber lain yang
dirujuk guna mendapatkan berbagai hukum (ahkam) syari’ah. Al-Qur’an
telah dan akan tetap – selain merupakan sumber konfrehensif hukum-hukum Ilahi –
juga menjadi kriteria untuk menilai berbagai hadits. Atas dasar inilah, sejak
zaman nabi Muhammad SAW hingga saat ini dan untuk selamanya, Al-Qur’an telah menjadi
sumber rujukan utama bagi para fuqaha Islam.
2.
HADIS
2.1 Pengertian Hadis
Dari segi bahasa hadis artinya khabar,
berita atau hal yang beritakan turun-temurun. Adapun menurut istilah, hadis
adalah ;
“maa udifa linnabiyyi Saw
aufi’lam awtaqriran aw nahwaha”.
Artinya:
“Segala sesuatu yang bersumber dari
nabi muhammad Saw baik perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan) ataupun yang
sepadanya”.
Kata lain yang juga di pakai dengan pengertian demikian ialah “sunah”. Arti
sunah menurut bahasa ialah jalan, tabiat, kebiasaan, yaitu jalan yang ditempuh
atau kebiassan yang di pakai dan di perintahkan oleh Nabi Muhammad Saw.
Secara umum ulama tidak membedakan antara pengertian hadis
dengan sunah.Kedua-duanyamengandung pengertian “ucapan atau perbuatan atau
taqrir (persetujuan) Nabi Muhammad Saw” Walaupun
demikian dikalangan ulama ada juga yang memberikan perbedaan antara hadis dan
sunah.
Hadis diartikan sebagai keterangan-keterangan dari
Rasulullah Saw.yang sampai kepada kita. Sedangakan sunah diartikan
pada pernyataan yang berlaku pada masa Rasulullah atau telah menjadi tradisi
dalam masyarakat islam pada masa itu, dan menjadi pedoman dalam melakukan
ibadah dan muamalah.
Hadis atau sunah Rasulullah Saw.adalah sumber hukum islam yang kedua setelah
Al-Qur’an. Untuk mengetahui lebih jauh tentang hadis atau sunah perlu kita
mengetahui sejarah pembukuan hadis, yaitu hadis pada masa Rasulullah, pada masa
khulafaurrasyidin dan pada masa khalifah Ummar Bin Abdul Aziz.
2.2 Pembukuan Hadis
1. Hadis Pada
masa Rasulullah Saw
Ketika
Rasulullah Saw masih hidup beliau melarang orang untuk menulis dan mencatat
sesuatu dari beliau. Kebijaksanaan itu sangat penting agar seluruh isi Al-Qur’an
dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya sebagai wahyu Allah semata, tidak
tercampur dengan perkataan Nabi Saw sendiri.
Yang diperintahkan untuk dicatat hanya wahyu saja. Selain dari itu dilarang seluruh
hadis pada masa Rasulullah berada dalam hafalan dan ingatan para sahabat saja.
Namun demikian, ada beberapa orang yang sempat mencatat hadis nabi Saw dan mereka
itu adalah orang-orang yang benar-benar dapat menjamin tidak akan mencampur
adukan antara Al-Qur’an dengan hadis Nabi Saw. Misalnya, ucapan Rasulullah
ketika Abdullah Ibnu Amr’ash bertanya kepada beliau :
“Uktub anni awalladji nafsi
biyadihi ma kharaja min fami illa haqun”
Artinya :
“tulislah apa yang anda dengar
dari padaku.demi tuhan yang jiwaku dalam kekuasaan-Nya, tidak keluar
dari mulutku selain
kebenaran”
Dari
uraian diatas kita ketahui bahwa larangan mencatat hadis ditujukan kepada umum,
dan ada ijin yang diberikan kepada orang-orang tertentu.
2. Hadis Pada Masa
Khulafaurrasyidin
Telah
dikemukakan bahwa pembukuan Al-Qur’an dimuali sejak masa khalifah Abu Bakar
dengan perhatian yang sangat besar dari para sahabat, sedagkan hadis dimasa ini
belum terbukukan secara meluas. Hal ini disebabkan karena belum
memperoleh perhatian sepenuhnya dari kalangan sahabat. bahkan Ummar bin Khattab
pernah melarang untuk memperbanyak riwayat
hadis.
Upaya
para sahabat dalam melestarikan hadis pada awalnya dengan cara menghafal
apa-apa yang diucapkan Nabi Saw dan melihat apa yang diperbuatnya. Pada walnya
nabi Saw melarang penulisan hadis, baru pada akhir-akhir dari kehidupan
Rasulullah larangan itu dicabut.
Kemudian pada awal khalifah Ali bin Abi Thalib, hadis mulai mengalami
perkembangan yang kurang menggembirakan, karena mulai timbu hadis-hadis palsu, yakni
ucapan atau buah pikiran seseorang yang diakui seolah-olah dari nabi Saw. Tapi berkat
upaya penyelidikan para muhadisin (ahli hadis) yang penuh ketekunan hal ini
dapat diatasi.
3. Hadis Pada Masa Khalifah
Ummar Bin Abdul Aziz
Periode
penulisan dan kodifikasi hadis secara resmi berlangsung pada masa khalifah
Ummar bin Abdul Aziz yaitu pada akhir abad pertama hijriah (99-102 H/717-720 M)
Khalifah yang dikenal jujur dan mempunyai
minat yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuan itu mengambil kebijaksanaan
yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Kalifah melihat kenyataan bahwa
penghafal hadis semakin berkurang jumlahnya, karena meninggal, dsb. Tumbuh rasa
khawatir pada diri khalifah, apabila hadis tidak segera dikumpulkan, maka
berangsur-angsur akan hilang. Rasa khawatir itulah yang menyebabkan
khalifah memerintahkan gubernur madinah supaya membukukan hadis Nabi. Dan beliaupun
mengirim surat kepada setiap gubernur untuk mengambil langkah serupa didaerah
mesing-masing.
2.3 Macam macam hadis
Hadis atau sunah dibagi menjadi
tiga macam yaitu :
1. Hadis atau sunah Qauliyah
Hadis qauliyah yaitu
ucapan-ucapan atau sabda nabi saw. Dalam berbagai kesempatan dan keadaan yang
berhubungan dengan penerapan hukum atau ketentuan-ketentuan lain dalam
islam.
2. Hadis atau sunah fi’liyah
Hadis fi’liyah yaitu
perbuatan atau perilaku nabi saw. Untuk memberikan turunan atau contoh
pelaksanaan ibadah atau urusan-urusan lain dalam islam.
3. Hadis atau sunah taqririyah
Hadis taqririyah yaitu
pernyataan atau persetujuan nabi saw. Terhadap suatu perbuatan yang dilakukan
sahabat atau seseorang dihadapan beliau, atau perbuatan seseorang ditempat lain
yang dilaporkan kepada beliau, lalu beliau diam. Diamnya nabi saw. Menandakan
persetujuan, sebab kalau tidak setuju, nabi akan menolaknya atau melarangnya.
3. IJTIHAD
3.1 Pengertian dan Peranan Ijtihad
Kata ijtihad berasal
dari اجتهد - يجتهد - اجتهاد “bersungguh-sungguh, rajin, giat”.
Kemudian dikalangan para ulama’ perkataan “ijtihad” ini khusus
digunakan dalam pengertian usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum
(fiqih) untuk mengetahui hukum syari’at. Jadi dengan demikian, ijtihad itu
ialah perbuatan menggali hukum syar’iyyat dari dalil-dalilnya yang terperinci
dalam syari’at. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.
Imam Ghozali mendefinisikan ijtihad sebagai usaha sungguh-sungguh dari
seorang mujtahid dalam upaya mengetahui atau menetapkan hukum syari’at. Dalam
batasan lain dikatakan :
الإجتهاد هو استفراغ الوسع فى نيل حكم شرعىّ بطريق
الإستنباط من الكتاب والسّنّة.
Artinya :
”Ijtihad ialah mencurahkan seluruh kemampuan untuk
menetapkan hukum syara’ dengan jalan istimbat (mengeluarkan hukum) dari kitab
dan sunnah.
Ijtihad sebagaimana dijelasakan di atas mempunyai
peranan yang sangat penting dalam penetapan status hukum suatu masalah yang
belum ada hukumnya secara rinci baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Tanpa
ada ijtihad banyak masalah yang dihadapi manusia tidak dapat dipecahkan karena
tidak diketemukan hukumnya dalam kedua sumber pokok tersebut. Dengan ijtihad
masalah-masalah yang belum ada hukumnya menjadi jelas status hukumnya.
3.2 Hukum Ijtihad
Menurut Syekh Muhammad Khudlaribahwa hukum ijtihad itu dapat dikelompokkan
menjadi :
A. Wajib ‘Ain, yaitu bagi seseorang
yang ditanya tentang sesuatu masalah, d an masalah itu akan hilang sebelum
hukumnya diketahui.
B. Wajib Kifayah, yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak hilang sebelum
diketahui hukumnya, sedang selain dia masih ada mujtahid lain. Apabila seorang
mujtahid telah menyelesaikan dan menetapkan hukum sesuatu tersebut, maka
kewajiban mujtahid yang lain telah gugur.
C. Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi.
3.3 Syarat-syarat Ijtihad
Ijtihad itu tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Seseorang diperbolehkan
melakukan ijtihad bila syarat-syarat ijtihad dipenuhi. Syarat-syarat tersebut
terbagi menjadi dua, yaitu syarat-syarat umum dan syarat-syarat khusus dan
syarat pelengkap.
A. Syarat-syarat Umum
1.
Baligh
2.
Berakal sehat
3.
Memahami masalah
4.
Beriman
B. Syarat-syarat Khusus
1.
Mengetahui ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah yang
dianalisis.
2.
Mengetahui sunnah-sunnah nabi yang berkaitan dengan masalah yang
dianalisis.
3.
Mengetahui maksud dan rahasia hukum islam.
4.
Mengetahui kaidah-kaidah kulliyah.
5.
Mengetahui kaidah-kaidah bahasa arab.
6.
Mengetahui ilmu ushul fiqih.
7.
Mengetahui ilmu mantiq.
8.
Mengetahui penetapan hukum asal berdasarkan bara’ah asliah.
9.
Mengetahui soal-soal ijma’.
C. Syarat-syarat pelengkap
1.
Mengetahui bahwa tidak ada dalil qath’iy yang berkaitan dengan masalah yang
akan ditetapkan hukumnya.
2.
Mengetahui masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ulama’ dan yang
akan mereka sepakati.
3.
Mengetahui bahwa hasil ijtihad itu tidak bersifat mutlaq.
D. Tigkatan-tingkatan Mujtahid
Tingkatan ini sangat
bergantung pada kemampuan, minat, dan aktifitas yang ada pada mujtahid itu
sendiri. Secara umum tingkatan mujtahid ini dapat dikelompokkan menjadi :
a. Mujtahid Mutlak atau
Mustaqil.
b. Mujtahid Muntasib.
c. Mujtahid Fil Mazahib.
d. Mujtahid Murajjih.
4. IJMA’
4.1 Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut bahasa,
artinya : sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah, ialah :
اتّفاق مجتهدى امّة محمّد صلى الله عليه وسلّم بعد وفاته
فى عصر من الاعصار
على امر من الامور.
Artinya :
“Kesamaan
pendapat para mujtahid umat Nabi Muhammad saw. setelah beliau wafat, pada masa
tertentu tentang masalah tertentu”.
Dari pengertian diatas dapatlah diketahui, bahwa
kesepakatan orang-orang yang bukan mujtahid, sekalipun mereka alim atau
kesepakatan orang-orang semasa dengan nabi tidaklah disebut sebagai ijma’.
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai jumlah mujtahid
yang setuju atau sepakat sebagai ijma’, namun pendapat jumhur, ijma’ itu
disyaratkan setuju paham mujtahid (ulama) yang ada pada masa itu. Tidak sah
ijma’ jika salah seorang ulama dari mereka yang hidup pada masa itu
menyalahinya. Selain itu, ijma’ ini harus berdasarkan kepada Al-Qur’an dan
as-Sunnah dan tidak boleh didasarkan kepada yang lainnya.
Contoh mengenai ijma’ antara lain ialah menjadikan
as-Sunnah sebagai salah satu sumber islam. Semua mujtahid dan bahkan semua umat
islam sepakat (ijma’) menetapkan as-Sunnah sebagai salah satu sumber hukum
islam.
Kesepakatan ulama ini
dapat terjadi dengan tiga cara, yaitu :
1. Dengan
ucapan (Qouli),
2.
dengan perbuatan (Fi’li),
3.
dengan diam (sukut)
4.2 Macam-macam Ijma’
1.
Ijma’ Ummah
2.
Ijma’ Sahaby
3.
Ijma’ Ahli Madinah
4.
Ijma’ Ahli Kufaah
5.
Ijma’ Khalifah yang empat
6.
Ijma’ Syaikhany
7.
Ijma’ Ahli Bait
4.3 Kedudukan Ijma’ Sebagai Sumber Hukum
Kebanyakan ulama menetapkan bahwa ijma' dapat dijadikan hujjah dan sumber
hukum islam dalam menetapkan sesuatu hukum dengan nilai kehujjahan bersifat
dzhanny. Golongan syi'ah memandang bahwa ijma' ini sebagai hujjah yang harus
diamalkan. Sedang ulama-ulama Hanafi dapat menerima ijma' sebagai dasar hukum,
baik ijma' qath'iy maupun dzhanny. Sedangkan ulama-ulama Syafi'iyah hanya
memegangi ijma' qath'iy dalam menetapkan hukum.
Dalil penetapan ijma' sebagai sumber
hukum islam ini antara lain adalah :
Firman Allah dalam surat An-Nisa'
ayat 59 :
يايهاالذين امنوا اطيعوا الله واطيعوا الرسول واولى الأمر منكم ( النساء : 59)
Artinya :
"Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu".
Yang dimaksud
"ulil amri" ialah orang-orang yang memerintah dan para ulama. Menurut hadits:
لاتجتمع أمّتى على الضّلالة
Artinya:
"Ummatku tidak
bersepakat atas kesesatan".
Menurut sebagian ulama bahwa yang dimaksud dengan Ulil Amri fid-dunya,
yaitu penguasa, dan Ulil Amri fid-din, yaitu mujtahid. Sebagian ulama lain
menafsirkannya dengan ulama.
Ijma' ini menempati tingkat ketiga sebagai hukum syar'iy, yaitu setelah
Al-Qur'an dan as-Sunnah.
Dari pemahaman seperti ini, pada dasarnya ijma' dapat dijadikan alternatif
dalam menetapkan hukum sesuatu peristiwa yang di dalam Al-Qu'an atau as-Sunnah
tidak ada atau kurang jelas hukumnya.
4.4 Sebab-sebab Dilakukan Ijma'
a. Karena adanya persoalan-persoalan
yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di dalam nash Al-Qur'an dan
as-Sunnah tidak diketemukan hukumnya.
b. Karena nash baik yang
berupa Al-Qur'an maupun as-Sunnah sudah tidak turun lagi atau telah berhenti.
c. Karena pada masa itu
jumlah mujtahid tidak terlalu banyak dan karenanya mereka mudah dikoordinir
untuk melakukan kesepakatan dalam menentukan status hukum persoalan
permasalahan yang timbul pada saat itu.
d. Di antara para mujtahid
belum timbul perpecahan dan kalaulah ada perselisihan pendapat masih mudah
dipersatukan.
5.
QIYAS
5.1 Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti mengukur, memperbandingkan, atau mempersamakan
sesuatu dengan lainnya dikarenakan adanya persamaan. Sedang menurut istilah
qiyas ialah menetapkan hukum sesuatu yang belum ada ketentuan hukumnya dalam
nash dengan mempersamakan sesuatu yang telah ada status hukumnya dalam nash.
Berbeda dengan ijma',
qiyas bisa dilakukan oleh individu, sedang ijma' harus dilakukan bersama oleh
para mujtahid.
5.2 Kedudukan Qiyas sebagai sumber hukum Islam
Qiyas menurut para
ulama adalah hujjah syar'iyah yang keempat sesudah Al-Qur'an, Hadits dan Ijma'.
Mereka berpendapat demikian dengan
alasan:
Firman Allah :
فاعتبروا يااولى الابصار. ( الحسر : 2)
Artinya:
"Hendaklah kamu
mengambil i'tibar (ibarat = pelajaran) hai orang-orang yang berfikiran".
(S. Al-Hasyr ayat 2)
Karena i'tibar artinya
"qiyasusysyai-i bisysyai-i : membandingkan sesuatu dengan sesuatu
yang lain".
5.3 Rukun Qiyas
Rukun qiyas ada empat :
a. Ashal (pangkal) yang
menjadi ukuran.
b. Far'un (cabang) yang
diukur
c. 'Illat, yaitu sifat
yang menghubungkan pangkal dan cabang.
d. Hukum, yang ditetapkan
pada far'i sesudah tetap pada ashal.
5.4 Macam-macam Qiyas
Qiyas ini ada empat macam :
a. Qiyas aulawi
(lebih-lebih)
Qiyas aulawi ialah yang 'illatnya sendiri
menetapkan adanya hukum.
b. Qiyas musawi (bersamaan
'illatnya)
Qiyas musawi ialah 'illatnya sama dengan 'illat
qiyas aulawi.
c. Qiyas dilalah
(menunjukkan)
Qiyas dilalah ialah yang 'illatnya tidak menetapkan
hukum.
d. Qiyas syibh
(menyerupai)
Qiyas syibh ialah mengqiyaskan cabang yang
diragukan di antara kedua pangkal ke
mana yang paling banyah menyamai.
5.5 Sebab-sebab Dilakukan Qiyas
a. Karena adanya
persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di dalam nash Al-Qur'an dan
as-Sunnah tidak diketemukan hukumnya dan mujtahid pun belum melakukan ijma'.
b. Karena nash, baik
berupa Al-Qur'an maupun as-Sunnah telah berakhir dan tidak turun lagi.
c. Karena adanya persamaan
'illat antara peristiwa yang belum ada hukumnya dengan peristiwa yang hukumnya
telah ditentukan oleh nash
6.
MASHALIHUL MURSALAH
6.1 Pengertiannya
Mashalih bentuk jama' dari mashlahah, artinya kemaslahatan, kepentingan.
Mursalah berarti terlepas. Dengan demikian mashalihul mursalah berarti
kemaslahatan yang terlepas. Maksudnya ialah penetapan hukum berdasarkan kepada
kemaslahatan, yaitu manfaat bagi manusia atau menolak kemadharatan atas mereka.
6.2 Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum
Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan mashalihul mursalah sebagai
sumber hukum.
1. Jumhur ulama menolaknya
sebagai sumber hukum, dengan alasan :
a. Bahwa dengan nash-nash
dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa memperhatikan kemaslahatan umat
manusia.
b. Pembinaan Hukum Islam
yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti membuka pintu bagi
keinginan hawa nafsu.
2. Imam Malik membolehkan
berpegang kepadanya secara mutlak. Namun menurut Imam Syafi'i boleh berpegang kepada
mashalihul mursalah apabila sesuai dengan dalil kully atau dalil juz'iy dari
syara. Pendapat kedua ini berdasarkan :
a. Kemaslahatan manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya.
b. Para sahabat dan tabi'in serta para mujtahid banyak
menetapkan hukum untuk mewujudkan maslahat yang tidak ada petunjuknya dari
syari'.
3. Dalam Al-Qur'an dan
hadits, tidak ada nash yang memerintah pengumpulan mushaf Al-Qur'an tetapi oleh
ummat Islam hal ini dilakukan, tiada lain ialah karena mengingat maslahat
ummat.
4. Dalam pernikahan
mengadakan pensyaratan adanya surat nikah, untuk sahnya gugatan, nafkah dan
pembagian pusaka.
6.3 Syarat-syarat Berpegang Kepada Mashalihul Mursalah
1. Maslahat itu harus
jelas dan pasti dan bukan hanya berdasarkan kepada prasangka.
2. Maslahaat itu bersifat
umum, bukan untuk kepentingan pribadi.
3. Hukum yang ditetapkan
berdasarkan maslahat itu tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah
ditetapkan dengan nash atau ijma'.
7.
SADDUDZ DZARI'AH
7.1 Pengertiannya
Dyara'i jamak dari kata dzari'ah artinya jalan. Saddudz dzari'ah berarti
menutup jalan. Menurut istilah ulama Ushul Fiqih bahwa yang di sebut dengan
dzari'ah ialah menghambat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan.
7.2 Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum
1. Menurut Imam Malik,
jalan-jalan yang mendatangkan kerusakan itu harus dihindarkan.
2. Menurut Imam Abu
Hanifah dan Imam Syafi'i, bahwa Saddudz Dzari'ah tidak dapat dijadikan sumber
hukum, karena sesuatu yang menurut hukum asalnya mubah, tetap diperlakukan
sebagai yang mubah. Dalam sebuah hadits nabi saw. dikatakan :
دع مايربك الى مالايربك
Artinya :
"Tinggalkan apa
yang meragukan bagimu kepada apa yang tidak meragukan".
8.
ISTISHAB
8.1 Pengertiannya
Istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di masa lalu,
diteruskan sampai yang akan datang, selama tidak terdapat hukum yang
mengubahnya.
8.2 Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam
Jumhur ulama mengatakan bahwa istishab dapat dijadikan pegangan sebagai
hujjah, karena dalam sejarah kehidupan manusia sudah terbiasa dan menjadi
kekuatan hukum bila berpegang kepada hukum yang berlaku sebelumnya.
Dari prinsip-prinsip
ini ditetapkan kaidah-kaidah fiqih sebagai berikut :
a. Asal sesuatu itu tetap
sebagaimana adanya :
الاصل بقاء ماكان على
ماكان
Artinya :
"Pada dasarnya
yang dijadikan dasar adalah sesuatu yang terjadi sebelumnya".
Misalnya hukum
asal makanan dan minuman adalah lala.
b. Apa yang telah diyakini
adanya, tidak hilang karena adanya keragu-raguan.
ما ثبت باليقين لايزول
بالشّك
Misalnya seorang yang telah berwudlu kemudian dia ragu-ragu, apakah
wudlunya sudah batal atau belum, maka wudlunya tetap ada (tidak batal).
c. Asal hukum sesuatu
adalah ibahah (boleh), sampai ada dalil yang mengharuskan meninggalkan hukum
tersebut.
الاصل فى الاشياء
الاباحة
Misalnya asal hukum
akad jual beli itu boleh.
Sebagian ulama berpendapat, terutama golongan Hanafiyah mengatakan bahwa
istishab itu hanya berlaku bila dipergunakan untuk menolak.
9.
‘URF
9.1 Pengertiannya
Urf ialah segala sesuatu yang sudah saling dikenal dan dijalankan oleh suatu masyarakat dan sudah menjadi adat
istiadat, baik berupa perkataan, perbuatan maupun meninggalkan. Menurut ahli
syara' urf bermakna adat, atau antara urf dan adat itu tidak ada perbedaanya.
Diantara contah urf amali ialah jual beli yang dilakukan berdasarkan saling
pengertian dengan tidak mengucapkan shighat. Contah urf Qouly ialah orang telah
mengetahui bahwa kata ar-rajul itu untuk laki-laki, bukan untuk perempuan.
9.2 Macam-macam Urf dan Hukumnya
a. Urf shahih, yaitu apa
yang telah dikenal orang tersebut tidak bertentangan dengan syari'at, tidak
menghalalkan yang haram, dan tidak menggugurkan kewajiban. Urf seperti ini
diperbolehkan dan bahkan harus dilestarikan, sebab sesuatu yang baik itu pasti
mendatangkan maslahat bagi manusia.
b. Urf Fasid, yaitu segala
sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia, tetapi berlawanan dengan syari'at,
atau menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban. Urf seperti ini
hukumnya haram, sebab bertentangan dengan ajaran agama.
9.3 Kedudukan Urf sebagai sumber hukum
Untuk urf shahih haruslah dilestarikan dalam kaitannya dengan upaya pembentukan
hukum dan proses peradilan.
10. ISTIHSAN
10.1 Pengertiannya
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik. Sedang menurut istilah
Ahli Ushul yang dimaksud istihsan ialah berpindahnya seorang mujtahid dari
hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas) kepada hukum yang dikehendaki
oleh qiyas khafy (samar-samar), atau dari hukum kully (umum) kepada hukum yang
bersifat istisna'y (pengecualian), karena ada dalil syara' yang menghendaki
perpindahan itu.
Dari pengertian di atas jelas bahwa istihsan itu ada dua, yaitu :
1. Menguatkan qiyas khafy
atas qiyas jaly dengan dalil. Misalnya menurut ulama Hanafiyah bahwa wanita
yang sedang haid boleh membaca Al-Qur'an berdasarkan istihsan tetapi haram
menurut qiyas.
Qiyas : Wanita yang sedang haid itu diqiyaskan
kepada orang junub dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca
Al-Qur'an, maka orang yang haid juga haram membaca Al-Qu'an.
Istihsan : Haid berbeda dengan
junub, karena haid waktunya lama. Karena itu, wanita yang sedang haid
diperbolehkan membaca Al-Qur'an, sebab bila tidak, maka haid yang panjang itu
wanita tidak memperoleh pahala ibadah apa pun, sedang laki-laki dapat beribadah
setiap saat.
2. Pengecualian sebagian
hukum kully dengan dalil. Misalnya jual beli salam (pesanan) berdasarkan
Istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kully, syara' melarang jual beli yang
barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan ialah manusia berhajat
kepada akad seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan mereka.
10.2 Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam
Para ulama berbeda pendapat tentang
kehujjahan istihsan :
1. Jumhur ulama menolak
berhujjah dengan istihsan, sebab berhujjah dengan istihsan berarti menetapkan
hukum berdasarkan hawa nafsu.
2. Golongan Hanafiyah membolehkan
berhujjah dengan istihsan. Menurut mereka, berhujjah dengan istihsan hanyalah
berdalilkan qiyar khafy yang dikuatkan terhadap qiyas jaly atau menguatkan satu
qiyas terhadap qiyas lain yang bertentangan dengannya berdasarkan dalil yang
menghendaki penguatan itu.